Contoh cerpen: Hujan dan kamu
Hujan dan Kamu
Hujan kembali
datang pagi ini. Menambah rasa dingin yang menusuk kulit, membuat orang malas
untuk bangkit dari lelap. Ah, tidak perlu heran. Ini Desember, bulan yang tepat
bagi hujan untuk datang setiap hari. Seperti kenangan, selalu memaksa untuk
diingat tiap kali tetes air hujan jatuh.
Arran
merapatkan jaketnya yang dirasa sama sekali tidak menghangatkan tubuhnya. Ia
masih bisa merasakan dingin mencoba masuk. Ah, andai jaket kesayangannya tidak
ia tinggalkan di rumah Galang. Hari ini, ia akan mengambilnya.
Bus yang
dinaiki sepertinya berjalan sangat lambat. Entah waktu malas untuk berjalan,
atau memang bus menghindari untuk melewati kubangan yang muncul setelah hujan.
Beruntung, dalam sepuluh menit kemudian, bus berhenti di
halte terdekat. Arran turun dan membenahi penampilannya yang berantakan. Rumah
Galang hanya selisih dua blok dari halte. Arran hanya tinggal berjalan kaki.
Mungkin itu ide yang cukup bagus, seraya mencium petrichor dan hitung-hitung
berolahraga.
Rumah Galang sudah nampak dari kejauhan. Pagar rumahnya
dibiarkan terbuka lebar. Bisa dipastikan Galang sedang ada di rumah. Mungkin
masih bermalas-malasan sembari bermain konsol.
Arran
mengetuk pintu rumah Galang. Anehnya, suasana di dalam rumah Galang sedang
ramai. Bahkan tidak terdengar suara efek dari game yang dimainkan Galang
seperti biasanya. Tak lama, pintu dibuka oleh seseorang yang pastinya bukan
Galang.
Arran
cukup terkejut untuk sesaat. Seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang
mampu membuat jantungnya berdebar tiap kali memperhatikannya. Mereka tidak
pernah sedekat ini. Tidak pernah.
“Kinar?”
ucap Arran spontan. Kinar tersenyum manis. Senyum yang dinantikan Arran tiap
kali sedang memperhatikan Kinar. Anggap saja, Kinar adalah orang yang sangat
dikagumi oleh Arran. Membuat Arran tidak bisa tidur karena memikirkan Kinar
tiap malam. “Ayo masuk. Galang di dalam.” Kinar membuka pintu lebih lebar.
Arran segera masuk ke dalam rumah Galang. Di dalam sudah ada Galang, Evan, dan
Mira.
“Eh,
Arran! Ada apa ke sini?” tanya Galang yang sedang berbincang dengan Evan. Ia
meletakkan gelasnya yang berisi es jeruk.
“Jaketku
ketinggalan.” Ujar Arran sambil tersenyum tipis. Ia mengedarkan pandangan ke
sekeliling ruangan. Tidak ada tanda-tanda jaket tebalnya yang berwarna biru
itu.
Galang
tampak memikirkan sesuatu dan tersentak. “Ah, aku letakkan di belakang pintu.”
Galang menjentikkan telunjuknya ke arah Kinar yang berada di dekat pintu.
“Kinar, tolong ambilkan untuk Arran, ya.”
Galang
melirik kecil ke arah Arran dengan nada menggoda. Hanya Galang satu-satunya
orang yang mengerti perasaan Arran. Rona muka Arran menjadi campur aduk.
Kinar
tersenyum kecil dan meraih jaket yang disampirkan di belakang pintu. Ia
menggenggamnya dan menyerahkannya kepada Arran dengan senyum masih tertera di
wajahnya yang manis. Sangat terlihat bahwa Arran sangat gugup. Tentu saja, ini
adalah pertama kalinya ia dan Kinar melakukan kontak mata. Selama mengagumi
Kinar, Arran hanya dapat memperhatikan dari jauh. Ia hanya bisa ikut tersenyum
saat Kinar tertawa manis, meskipun tawa itu bukan karenanya.
“Ah, makasih.” ucap Arran pendek. Padahal
sudah banyak kata terngiang di kepalanya untuk diucapkan pada gadis di
hadapannya.
Suasana
kembali hening di dalam ruang tamu. Sesaat kemudian, keheningan pecah oleh
hujan yang kembali menghantam bumi. Rintik hujannya tampak damai, meskipun rela
jatuh berkali-kali.
Semuanya
saling memandang satu sama lain. Hujan membuat orang susah untuk bergerak ke
mana-mana. Meskipun halte dekat dengan rumah Galang, malas rasanya untuk melangkah
ke luar.
“Hujan
lagi.” desah Galang sebal. Ia melirik Evan, Mira, Arran, dan Kinar bergantian.
“Kalian pulang sekarang?” melirik yang lain. Ia meraih tasnya dan memakai
hoodie jaketnya.
“Gue pulang, ya, Lang.” ucap Evan seraya meraih kunci motornya. Mira yang melihat Evan, segera mengambil tasnya. “Gue nebeng, Van!” Mira membuntuti Evan yang sudah keluar dari rumah Galang. Tidak usah mengkhawatirkan mereka berdua. Mereka seperti perangko dan amplop yang tidak bisa dipisahkan.
“Gue pulang, ya, Lang.” ucap Evan seraya meraih kunci motornya. Mira yang melihat Evan, segera mengambil tasnya. “Gue nebeng, Van!” Mira membuntuti Evan yang sudah keluar dari rumah Galang. Tidak usah mengkhawatirkan mereka berdua. Mereka seperti perangko dan amplop yang tidak bisa dipisahkan.
Kini
tinggal Arran dan Kinar yang tersisa. Arran tahu bahwa rumah Kinar searah
dengannya dan hanya berjarak satu blok. Tiap Minggu pagi, Arran selalu
menyempatkan untuk lari pagi dan melewati rumah Kinar. Berharap si empunya
rumah keluar untuk menyapanya dan memberi senyum.
“Kinar
gimana? Pulang bareng Arran?” tanya Galang. Entah itu untuk menggoda atau
benar-benar menawari Kinar. Kinar tersadar dari lamunannya dan memandangi
Arran. “Boleh, Ran? Kamu naik bus, kan?” Kinar memastikan. Sepertinya Kinar
tidak pernah tahu bahwa setiap Kinar pulang dari kampus, Arran selalu
bersamanya. Di bus, Arran selalu berada di jarak aman, selisih dua kursi dengan
Kinar untuk bisa mengamatinya dengan nyaman. Arran mengangguk, mencoba untuk
tetap berwajah datar. “Ya udah. Ayo,” ajak Kinar. Mata Arran membulat, ia kaget
dengan ajakan Kinar. Namun, Kinar sudah meraih tasnya di atas sofa dan pamit
pada Galang. Mau tak mau, ia juga harus pulang bersama Kinar.
Payung
berwarna hitam milik Galang sudah berada di genggaman Arran. Tubuhnya yang
tinggi menjadi pelindung untuk Kinar dari hujan. Ini yang menjadi impiannya
sejak dulu; melindungi orang yang ia kagumi.
Di
bawah hujan, mereka diam membisu. Sesekali air hujan mengenai pakaian mereka.
Sehingga mereka harus lebih merapatkan jarak agar tidak terkena air hujan.
Tidak sengaja, lengan Arran mengenai bahu ringkih Kinar. Mereka menjadi semakin canggung dan Arran memberi jarak di antara mereka.
Tidak sengaja, lengan Arran mengenai bahu ringkih Kinar. Mereka menjadi semakin canggung dan Arran memberi jarak di antara mereka.
“Ran,”
ucap Kinar. Meskipun hilang ditelan hujan, suaranya masih dapat didengar oleh
Arran. “Kamu udah punya pacar, kan, ya?” Arran menoleh. Ia menahan tawanya. “Emang
siapa yang mau sama aku?” Tinggal beberapa langkah lagi sampai di halte. Ada
bus yang nampaknya baru datang. Mereka berdua mempercepat langkah. Kinar diam
sejenak. Ia menyibak rambutnya dan diselipkan ke telinganya. Beberapa helai
berjatuhan, menambah kesan manis di wajahnya yang polos. “Aku kira udah punya.
Kamu kan lumayan famous.” Perkataan Kinar membuat Arran tertawa. Tapi, Arran
berusaha untuk mengontrol tawanya dihadapan Kinar.
Mereka
berdua secara bergantian masuk ke dalam bus. Arran menutup payung dan masuk ke
dalam bus. Ia duduk di samping Kinar yang sedang bersandar di kursi bus.
Dalam sepuluh menit, bus sudah penuh. Sopir menjalankan bus dengan pelan, seperti saat mengantar Arran tadi pagi. Arran melirik ke arah Kinar yang sedang memandangi jendela.
Dalam sepuluh menit, bus sudah penuh. Sopir menjalankan bus dengan pelan, seperti saat mengantar Arran tadi pagi. Arran melirik ke arah Kinar yang sedang memandangi jendela.
“Kinar,”
panggil Arran refleks. Kinar yang sedang melamun tidak merespons panggilannya. “Ehm,
Kinar.” Dengan kaget, Kinar menoleh ke arah Arran. Ia tersenyum dan meminta
maaf karena tidak mendengar panggilan Arran.
“Apa,
Ran?” “Kamu udah punya pacar?” tanya Arran. Menurutnya itu pertanyaan yang
wajar, sebagai balasan dari pertanyaan yang sebelumnya dilontarkan oleh Kinar.
Kinar tersenyum kecil dibalik rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. Arran
tentu tidak melihat itu. “Emang kenapa?” tanya kinar, membuat Arran
kebingungan. Hujan di luar masih deras. Rasa dingin kembali menyelimuti. “Aku
cuma nanya!” Arran cept-cepat menimpali. Semburat merah dipipinya makin
kentara.
“Nggak punya, Ran.” Jawaban Kinar membuat hati
Arran lega. Ia menjadi siap untuk menunggu lebih lama lagi. “Tapi, aku lagi
suka sama seseorang, sih.”
Arran yang di dalam hatinya sudah merasa sangat bahagia, kembali mendung seperti suasana pagi hari ini. Pupus sudah harapannya untuk mencoba menjadi bagian dari hari-hari Kinar.
“Mau curhat?” Arran menawari. Siapa tahu, meski tidak bisa menjadi seseorang yang membuat Kinar tertawa, tapi ia bisa menjadi tempat Kinar untuk berbagi kisah.
“Nggak usah. Tapi, makasih, lho.” Kinar tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela. Hujan masih turun dengan deras. Tidak ada tanda-tanda untuk berhenti jatuh, meskipun ia tahu bahwa rasanya sakit.
Arran yang di dalam hatinya sudah merasa sangat bahagia, kembali mendung seperti suasana pagi hari ini. Pupus sudah harapannya untuk mencoba menjadi bagian dari hari-hari Kinar.
“Mau curhat?” Arran menawari. Siapa tahu, meski tidak bisa menjadi seseorang yang membuat Kinar tertawa, tapi ia bisa menjadi tempat Kinar untuk berbagi kisah.
“Nggak usah. Tapi, makasih, lho.” Kinar tersenyum. Ia mengalihkan pandangannya ke jendela. Hujan masih turun dengan deras. Tidak ada tanda-tanda untuk berhenti jatuh, meskipun ia tahu bahwa rasanya sakit.
Arran
menghela nafas. Ini tidak akan pernah selesai. Perjuangannya untuk tetap
bertahan dalam mengagumi Kinar. Tidak akan pernah selesai. Rasanya, belum cukup
hari ini ia menghabiskan waktu bersama Kinar. Wajahnya yang manis tetap
membayangi. Arran tahu, bahwa ia tak akan bisa mendapatkan tempat di hati
Kinar. Namun, ia tetap bertahan. Seperti hujan.
Kinar
menoleh sebentar ke arah Arran yang sedang bersandar sambil memejamkan mata
sebersit senyuman kembali temannya. Namun, kinar akan tetap mengagumi Arran
bagaimanapun caranya.menghias wajahnya. Arran tak pernah tahu, bahwa senyumanya
dinantikan oleh Kinar. Arran juga tidak pernah tahu bahwa Kinar selalu
memperhatikan Arran saat Arran sedang tidak memperhatikannya. Kinar tidak
pernah menceritakan kepada siapapun tentang Arran. Pendapatnya tentang sosok Arran
mungkin akan menimbulkan cecaran negatif dari teman-
Keduanya
saling mengagumi, namun tak pernah tahu. Keduanya saling tersakiti, namun tetap
bertahan. Seperti hujan yang tetap jatuh berkali-kali meskipun tahu bahwa
rasanya sakit. Arran dan Kinar akan selalu diam dengan perasaan yang menyertai
mereka.
Cerpen
karangan : Aurania
Comments
Post a Comment