Fatimah Az-zahra, panutan wanita islam seluruh dunia
Fatimah
Az Zahra adalah anak perempuan ke empat pasangan Rasulullah dan Ummul Mu'minin Siti
Khadijah. (Rasulullah dan Siti Khadijah dikaruniai empat orang putri; Zeinab,
Raqayyah, Ummi Kultsum dan Fatimah). Fatimah dilahirkan ketika kaum Quraisy
merenovasi Ka'bah (pada saat itu Rasulullah yang dikenal dengan julukan Al-Amin
“orang yang dipercaya” berhasil menggagalkan peperangan antara kelompok Quraisy).
Tepatnya 20 Jumadil Akhir lima tahun sebelum bi’tsah (turun wahyu kepada Rasulullah).
Fatimah hidup dan tumbuh besar di haribaan wahyu
Allah dan kenabian Muhammad SAW. Beliau dibesarkan di dalam rumah yang penuh
dengan kalimat-kalimat kudus Allah SWT dan ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Setiap
kali Rasulullah SAW melihat Fatimah masuk ke dalam rumahnya, beliau langsung
menyambut dan berdiri, kemudian mencium kepala dan tangannya.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah.
Pada suatu hari, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang sebab kecintaan beliau yang sedemikian besar kepada Fatimah.
Beliau
menegaskan, “Wahai ‘Aisyah, jika engkau tahu apa yang aku ketahui tentang
Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah
adalah darah dagingku. Ia tumpah darahku. Barang siapa yang membencinya, maka
ia telah membenciku, dan barang siapa membahagiakannya, maka ia telah
membahagiakanku”.
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Kaum muslimin telah mendengar sabda Rasulullah yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Fatimah diberi nama Fatimah karena dengan nama itu Allah SWT telah melindungi setiap pecintanya dari azab neraka.
Dalam
beberapa riwayat dijelaskan bahwasanya Fatimah adalah orang yang paling mirip
dengan Rasulullah (kelak setelah lahirnya Hasan bin Abi Thalib bin Fatimah bin
Muhammad, Hasanlah orang yang paling mirip dengan Rasulullah), di antaranya
adalah apa yang dikatakan oleh Aisyah: "Tidak ada yang mirip Rasulullah
dalam cara berjalan dan bertutur kata kecuali Fatimah", Dalam riwayat lain
Ummul Mu'minin Ummu Salamah mengatakan: "Fatimah binti Rasulullah adalah
orang yang paling mirip wajahnya dengan Rasulullah”. Hal ini ditegaskan oleh
Anas bin Malik dalam salah satu riwayatnya: "Fatimah sangat mirip dengan Rasulullah,
kulitnya putih dan berambut hitam”.
Fatimah
as mencintai ayahandanya melebihi cintanya kepada siapa pun.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Setelah ibunda kinasihnya, Khadijah as wafat, beliaulah yang merawat ayahnya ketika masih berusia enam tahun. Beliau senantiasa berusaha untuk menggantikan peranan ibundanya bagi ayahnya itu.
Pada usianya yang masih belia itu, Fatimah
menyertai ayahnya dalam berbagai cobaan dan ujian yang dilancarkan oleh
orang-orang musyrikin Makkah terhadapnya. Dialah yang membalut luka-luka sang
ayah, dan yang membersihkan kotoran-kotoran yang dilemparkan oleh orang-orang
Quraisy ke arah Rasulullah. Fatimah senantiasa mengajak bicara sang ayah dengan
kata-kata dan obrolan yang dapat menggembirakan dan menyenangkan hatinya. Untuk
itu, Rasulullah SAW memanggilnya dengan julukan Ummu Abiha, yaitu ibu
bagi ayahnya, karena kasih sayangnya yang sedemikian tercurah kepada Rasulullah.
Fatimah,
memiliki banyak julukan, julukannya yang paling masyhur adalah Az-Zahra yang
artinya bercahaya, berkilau. Ulama berbeda pendapat dalam sebab dijulukinya Az-Zahra,
ada yang mengatakan karena Fatimah adalah bunga Rasulullah, yang lain
mengatakan karena Fatimah berkulit putih, pendapat ketiga mengatakan karena
apabila Fatimah beribadah dalam mihrabnya (musholah) maka cahayanya menerangi
mahkluq yang ada di langit seperti halnya cahaya bintang menerangi makhluk yang
ada di bumi. Selain Az-Zahra, Fatimah mendapat julukan Ash-Shiddiqah (orang
yang percaya), Al-Mubarakah, At-Thahirah, Az-Zakiyyah, Ar-Radhiyah,
Al-Murdhiyyah.
Di
samping julukan-julukan di atas, Fatimah mendapat julukan Al-Butul, sebagaimana
Siti Maryam mendapat julukan tersebut. Yang dimaksud dengan Al-Butul di sini
adalah memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah kepada Allah.
Suatu
hari Rasulullah SAW duduk di masjid dan dikelilingi oleh para sahabat. Tidak
lama kemudian seorang tua bangka dengan pakaian compang-camping datang
menghampiri mereka. Usia tua dan kelemahan badannya telah merenggut segala
kekuatan yang dimilikinya. Rasulullah SAW menghampirinya seraya bertanya
tentang keadaannya. Ia menjawab: “Wahai Rasulullah, aku adalah seorang budak
dan lapar, berikanlah aku makanan. Aku telanjang, berikanlah kepadaku pakaian.
Aku hidup menderita, tolonglah aku”. Rasulullah SAW menjawab: “Aku sekarang tidak
memiliki sesuatu (yang dapat kuberikan kepadamu). Akan tetapi, orang yang
menunjukkan kepada suatu kebaikan, sebenarnya ia juga memiliki saham dalam
kebaikan tersebut”.
Setelah
berkata demikian, Rasulullah SAW menyuruhnya untuk pergi ke rumah Fathimah. Ia
pergi ke rumahnya dan sesampainya di sana ia menceritakan segala
penderitaannya. Ia menjawab: “Aku pun sekarang tidak memiliki sesuatu (yang
dapat kuberikan kepadamu)”. Setelah berkata demikian, ia melepas kalung yang
dihadiahkan oleh putri Hamzah bin Abdul Muthalib kepadanya dan memberikannya
kepada pria tua itu seraya berkata: “Jualah kalung ini, insya-Allah engkau akan
dapat memenuhi kebutuhanmu”.
Setelah
mengambil kalung tersebut pria tua itu pergi ke masjid. Rasulullah SAW masih
duduk bersama para sahabat kala itu. Pria tua itu berkata: “Wahai Rasulullah,
Fathimah memberikan kalung ini kepadaku untuk dijual demi memenuhi segala
kebutuhanku”. Rasulullah terisak menangis. Amar Yasir berkata: “Wahai Rasulullah,
apakah Anda mengizinkan kalung ini kubeli?” “Siapa yang membelinya, semoga
Allah tidak mengazabnya”, jawab Rasulullah SAW singkat.
Amar
Yasir bertanya kepada pria tua itu: “Berapa kamu mau menjualnya?” “Aku akan
menjualnya seharga roti dan daging yang dapat mengenyangkanku, pakaian yang
dapat menutupi badanku dan 10 Dinar sebagai bekalku pulang menuju rumahku”,
jawabnya pendek.
Amar Yasir berkata: “Kubeli kalung ini dengan harga 20 Dinar emas, makanan, pakaian dan kuda (sebagai tungganganmu pulang)”. Ia membawa pria tua itu ke rumahnya, lalu diberinya makan, pakaian, kuda dan 20 Dinar emas yang telah disepakatinya. Setelah mengharumkan kalung tersebut dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain, ia berkata kepada budaknya: “Berikanlah bungkusan ini kepada Rasulullah, dan aku juga menghadiahkanmu kepada beliau”.
Amar Yasir berkata: “Kubeli kalung ini dengan harga 20 Dinar emas, makanan, pakaian dan kuda (sebagai tungganganmu pulang)”. Ia membawa pria tua itu ke rumahnya, lalu diberinya makan, pakaian, kuda dan 20 Dinar emas yang telah disepakatinya. Setelah mengharumkan kalung tersebut dengan minyak wangi dan membungkusnya dengan kain, ia berkata kepada budaknya: “Berikanlah bungkusan ini kepada Rasulullah, dan aku juga menghadiahkanmu kepada beliau”.
Rasulullah
SAW akhirnya menghadiahkan kalung dan budak tersebut kepada Fathimah,. Fathimah
mengambil kalung tersebut dan berkata kepada budak itu: “Aku bebaskan engkau di
jalan Allah”. Budak itu tersenyum. Fathimah menanyakan mengapa ia tersenyum. Ia
menjawab: “Wahai putri Rasulullah, kalung ini yang membuatku tersenyum. Ia
telah mengenyangkan orang yang kelaparan, memberikan pakaian kepada orang-orang
yang tak berpakaian, menjadikan orang fakir kaya, memberikan tunggangan kepada
orang yang tidak punya tunggangan, membebaskan budak dan akhirnya ia kembali
pemilik aslinya”.
Sudah
lama Ali menyembunyikan keinginan untuk memperistri Fatimah. Keinginan tersebut
bertambah menggebu setelah Rasulullah menikah dengan Siti 'Aisyah. Bagi
Fatimah, Ali bukanlah orang asing, ia adalah anak paman Rasulullah, Abu Thalib.
Keduanya dibesarkan dalam rumah yang sama dengan orang tua yang sama (Ali
dikafil oleh Rasulullah sebagai balas jasa Rasulullah terhadap Abu Thalib).
Tapi apa daya Ali tidak memiliki apa-apa untuk dijadikan sebagai mahar. Abu
Bakar dan Umar mendahului Ali melamar Fatimah, keduanya ditolak Rasulullah
dengan halus. Setelah penolakan itu keduanya menemui Ali agar melamar Fatimah.
Maka pergilah Ali menemui Rasulullah untuk melamar Fatimah. Karena malu Ali
menyampaikan lamarannya dengan cara halus. Rasulullah hanya menjawab:
"Ahlan wamarhaban" lalu keduanya sama-sama diam. Keesokan harinya Ali
kembali menemui Rasulullah, kali ini dengan terang-terangan ia melamar Fatimah,
dan menjadikan baju bsinya sebagai mahar. Kemudian atas perintah Rasulullah ia
menjual baju besinya seharga 470 dirham untuk keperluan perkawinannya.
Demikianlah perkawinan putri Rasulullah, dengan Ali, pemuda faqir yang hanya
memiliki baju besi untuk dijadikan mahar. Ketika itu usia Fatimah 18 tahun.
Rasulullah
SAW kembali menemui Ali sambil mengangkat tangan sang menantu seraya berkata,
“Bangunlah! 'Bismillah, bi barakatillah, masya’ Allah la quwwata illa billah,
tawakkaltu 'alallah”. Kemudian, Rasulullah menuntun Ali dan mendudukkannya di
samping Fatimah. Beliau berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya keduanya adalah
makhluk-Mu yang paling aku cintai, maka cintailah keduanya, berkahilah
keturunannya, dan peliharalah keduanya. Sesungguhnya aku menjaga mereka berdua
dan keturunannya dari setan yang terkutuk.”
Rasulullah
mencium keduanya sebagai tanda ungkapan selamat berbahagia. Kepada Ali, beliau
berkata, “Wahai Ali, sebaik-baik istri adalah istrimu.” Dan kepada Fatimah,
beliau menyatakan, “Wahai Fatimah, sebaik-baik suami adalah suamimu”.
Acara
pernikahan itu berlangsung dengan kesederhanaan. Saat itu, Ali tidak memiliki
sesuatu yang bisa diberikan sebagai mahar kepada sang istri selain pedang dan
perisainya. Untuk menutupi keperluan mahar itu, ia bermaksud menjual pedangnya.
Tetapi Rasulullah SAW mencegahnya, karena Islam memerlukan pedang itu, dan
setuju apabila Ali menjual perisainya.
Setelah
menjual perisai, Ali menyerahkan uangnya kepada Rasulullah SAW. Dengan uang
tersebut beliau menyuruh Ali untuk membeli minyak wangi dan perabot rumah
tangga yang sederhana guna memenuhi kebutuhan keluarga yang baru ini. Kehidupan
mereka sangat bersahaja. Rumah mereka hanya memiliki satu kamar, letaknya di
samping masjid Rasulullah SAW.
Dibanding
dengan saudari-saudarinya, dari segi materi, Fatimah lah yang paling sengsara.
Ali tidak mampu membayar pembantu untuk meringankan pekerjaan Fatimah. Fatimah
dengan ikhlas mengerjakan semua pekerjaan rumah, dibantu oleh Ali sepulang
mencari nafkah.
Suatu
hari Ali mendengar bahwa Rasulullah mendapat beberapa orang budak. Maka iapun
meminta kepada Fatimah untuk pergi menemui Rasulullah guna meminta salah satu
budak agar bisa meringankan pekerjaan Fatimah. Pergilah Fatimah memenuhi
permintaan Ali, tapi sesampainya di tempat Rasulullah ia malu menyampaikan
maksud kedatangannya, iapun pamit pulang.
Sesampainya
di rumah ia menceritakannya pada Ali. Lalu Ali mengajak Fatimah kembali menemui
Rasulullah, karena Fatimah diam saja, akhirnya Ali lah yang meminta kepada Rasulullah
untuk memberi mereka salah satu budak agar bisa meringankan pekerjaan Fatimah.
Tapi Rasulullah tidak bisa mengabulkan permintaan keduanya, karena hasil
penjualan budak-budak tersebut akan dibelikan makanan untuk para fakir miskin.
Pulanglah pasangan tersebut tanpa ada sedikitpun rasa kecewa di hati keduanya.
Tapi pemandangan itu menyentuh hati Rasulullah sebagai seorang ayah. Malamnya Rasulullah
mendatangi putrinya Fatimah, beliau bersabda: "Maukah kalian berdua aku
beri sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta?" keduanya
menjawab dengan serentak: "tentu ya Rasulullah." Rasulullah berkata:
"kalimat yang diajarkan Jibril; Membaca tasbih 10 kali, tahmid 10 kali dan
takbir 10 kali setiap selesai sholat. Dan apabila kalian hendak tidur bacalah
tasbih 33 kali , tahmid 33 kali dan takbir 34 kali."
Namun,
kehidupan Ali dan Fatimah merupakan contoh dan teladan bagi kehidupan suami
istri yang bahagia. Ali senantiasa membantu Fatimah dalam pekerjaan-pekerjaan
rumah tangganya. Begitu pula sebaliknya, Fatimah selalu berupaya untuk mencari
keridhaan dan kerelaan Ali, serta senantiasa memberikan rasa gembira kepada
suaminya.
Pembicaraan
mereka penuh dengan adab dan sopan santun. "Ya binti Rasulullahillah"
wahai putri Rasulullah, adalah panggilan yang biasa digunakan Ali setiap kali
ia menyapa Fatimah. Sementara Fatimah sendiri menyapanya dengan panggilan “Ya
Amirul Mukminin” wahai pemimpin kaum mukmin. Kehidupan Ali dan Fatimah, keduanya
adalah teladan bagi kedua pasangan suami-istri, atau pun bagi orang tua
terhadap anak-anaknya.
Pada
tahun ke-2 Hijriah, Fatimah as melahirkan putra pertamanya yang oleh Rasulullah
SAW diberi nama “Hasan”. Rasulullah SAW sangat gembira sekali atas kelahiran
cucunda ini. Beliau pun menyuarakan azan pada telinga kanan Hasan dan iqamah
pada telinga kirinya, kemudian dihiburnya dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Setahun kemudian
lahirlah Husain. Demikianlah Allah SWT berkehendak menjadikan keturunan Rasulullah
SAW dari Fatimah Az-Zahra. Rasulullah mengasuh kedua cucunya dengan penuh kasih
dan perhatian. Tentang keduanya beliau senantiasa mengenalkan mereka sebagai
buah hatinya di dunia. Bila Rasulullah SAW keluar rumah, beliau selalu membawa
mereka bersamanya. Beliau pun selalu mendudukkan mereka berdua di haribaannya
dengan penuh kehangatan.
Suatu
hari Rasulullah SAW lewat di depan rumah Fatimah. Tiba-tiba beliau mendengar
tangisan Husain. Kemudian Nabi dengan hati yang pilu dan sedih mengatakan,
“Tidakkah kalian tahu bahwa tangisnya menyedihkanku dan menyakiti hatiku.”
Satu
tahun berselang, Fatimah melahirkan Zainab. Setelah itu, Ummu Kultsum pun
lahir. Sepertinya Rasulullah SAW teringat akan kedua putrinya Zainab dan Ummu
Kultsum ketika menamai kedua putri Fatimah itu dengan nama-nama tersebut.
Fatimah,
putri Rasulullah yang sabar dan qana'ah dan penuh keridhoan, ia jalani
kehidupan rumah tangganya dengan Ali. Maka tak mengherankan betapa sakit
hatinya Fatimah ketika Ali berniat akan menikah dengan wanita lain. Apalagi
setelah tahu siapa wanita yang akan dinikahi Ali, yaitu; putri dari musuh Allah
Amr bin Hisyam atau yang lebih dikenal dengan julukan Abu Jahal.
Adapun
Ali, tidak ada niat sedikitpun untuk menyakiti hati Fatimah apalagi hati Rasulullah
SAW. Dalam pandangannya selama ini, Rasulullah tidak membeda-bedakan antara
putrinya dengan yang lain. Buktinya Rasulullah pernah berkata bahwa apabila
Fatimah mencuri, maka akan dipotong tangannya sebagaimana yang lain. Berarti
sebagaimana wanita muslimah yang lain boleh dimadu demikian halnya dengan
Fatimah. Tapi ternyata dugaan Ali salah, Fatimah sangat marah dengan apa yang
diniatkan Ali, demikian halnya Rasulullah. Rasulullah naik ke mimbar dan
berkata: " Aku tidak mengijinkan Ali menikah dengan anak perempuan bani
Hisayam, kecuali jika Ali menceraikan Fatimah, Aku bukan mengharamkan yang
halal, tapi demi Allah tidak bersatu antara putri Rasulullah dan putri musuh
Allah pada satu laki-laki."
Begitu
istimewanya Fatimah di hati Rasulullah, sampai beliau tidak tega melihatnya
dimadu. Hal ini merupakan kekhususan Az Zahra sebagaimana kekhususannya dalam
dilarangnya ia mengenakan perhiasan.
Sekembalinya dari Haji Wada‘, Rasulullah
SAW jatuh sakit, bahkan beliau sempat pingsan akibat panas dan demam keras yang
menimpanya. Fatimah bergegas menghampiri beliau dan berusaha untuk memulihkan
kondisinya. Dengan air mata yang luruh berderai, Fatimah berharap agar sang
maut memilih dirinya dan merenggut nyawanya sebagai tebusan jiwa Rasulullah.
Tidak lama kemudian Rasulullah SAW
membuka kedua matanya dan mulai memandang putri semata wayang itu dengan penuh
perhatian. Lantas beliau meminta kepadanya untuk membacakan ayat-ayat suci
Al-Qur'an. Fatimah pun segera membacakan Al-Qur'an dengan suara yang khusyuk.
Sementara sang ayah hayut dalam kekhusyukan
mendengarkan kalimat-kalimat suci Al-Qur'an, Fatimah pun memenuhi suasana rumah
Rasulullah. Beliau ingin menghabiskan detik-detik akhir hayatnya dalam keadaan
mendengarkan suara putrinya yang telah menjaganya dari usia yang masih kecil
dan berada di samping ayahnya di saat dewasa. Rasulullah SAW meninggalkan dunia
dan ruhnya yang suci mi’raj ke langit.
Kepergian Rasulullah SAW merupakan
musibah yang sangat besar bagi putrinya, sampai hatinya tidak kuasa memikul
besarnya beban musibah tersebut. Siang dan malam, beliau selalu menangis. Belum lagi usai musibah itu, Fatimah mendapat
pukulan yang lebih berat lagi dari para sahabat yang berebut kekuasaan dan
kedudukan.
Setelah mereka merampas tanah Fadak
dan berpura-pura bodoh terhadap hak suaminya dalam perkara khilafah (kepemimpinan),
Fatimah Az-Zahra’ berupaya untuk mempertahankan haknya dan merebutnya dengan keberanian
yang luar biasa. Ali melihat bahwa perlawanan terhadap khalifah yang dilakukan
Fatimah secara terus menerus bisa menyebabkan negara terancam bahaya besar,
hingga dengan begitu seluruh perjuangan Rasulullah SAW akan sirna, dan manusia
akan kembali ke dalam masa Jahiliyah.
Atas dasar itu, Ali meminta istrinya
yang mulia untuk menahan diri dan bersabar demi menjaga risalah Islam yang suci.
Akhirnya, Fatimah pun berdiam diri dengan menyimpan kemarahan dan mengingatkan
kaum muslimin akan sabda Rasulullah, “Kemarahannya adalah kemarahan Rasulullah,
dan kemarahan Rasulullah adalah kemarahan Allah SWT.”
Bagaikan cahaya lilin yang menyala kemudian
perlahan-lahan meredup. Demikianlah ihwal Fatimah Az-Zahra’ sepeninggal Rasulullah
SAW. Ia tidak kuasa lagi hidup lama setelah ditinggal wafat oleh sang ayah
tercinta. Kesedihan senantiasa muncul setiap kali azan dikumandangkan, terlebih
ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna Muhammadan(r) Rasulullah.
Kerinduan Sayidah Fatimah untuk
segera bertemu dengan sang ayah semakin menyesakkan dadanya. Bahkan kian lama,
kesedihannya pun makin bertambah. Badannya terasa lemah, tidak lagi sanggup
menahan renjana jiwanya kepada ayah tercinta.
Demikianlah keadaan Fatimah saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Demikianlah keadaan Fatimah saat meninggalkan dunia. Beliau tinggalkan Hasan yang masih 7 tahun, Husain yang masih 6 tahun, Zainab yang masih 5 tahun, dan Ummi Kultsum yang baru saja memasuki usia 3 tahun.
Yang paling berat dalam perpisahan
ini, ia harus meninggalkan suami termulia, Ali as, pelindung ayahnya dalam
jihad dan teman hidupnya di segala medan.
Fatimah memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.Fatimah Az-Zahra’ senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Fatimah memejamkan mata untuk selamanya setelah berwasiatkan kepada suaminya akan anak-anaknya yang masih kecil. Beliau pun mewasiatkan kepada sang suami agar menguburkannya secara rahasia. Hingga sekarang pun makam suci beliau masih misterius. Dengan demikian terukirlah tanda tanya besar dalam sejarah tentang dirinya.Fatimah Az-Zahra’ senantiasa memberikan catatan kepada sejarah akan penuntutan beliau atas hak-haknya yang telah dirampas. Sehingga umat Islam pun kian bertanya-tanya terhadap rahasia dan kemisterian kuburan beliau.
Dengan penuh kesedihan, Ali duduk di
samping kuburannya, diiringi kegelapan yang menyelimuti angkasa. Kemudian Ali mengucapkan
salam, “Salam sejahtera bagimu duhai Rasulullah ... dariku dan dari putrimu
yang kini berada di sampingmu dan yang paling cepat datang menjumpaimu. "Duhai Rasulullah! Telah berkurang
kesabaranku atas kepergian putrimu, dan telah berkurang pula kekuatanku ...
Putrimu akan mengabarkan kepadamu akan umatmu yang telah menghancurkan
hidupnya. Pertanyaan yang meliputinya dan keadaan yang akan menjawab. Salam sejahtera
untuk kalian berdua!”.
Comments
Post a Comment